Senin, 12 Oktober 2015

Kebijakan Pendidikan yang Di Interfensi Oleh Asing

Kuliah menjadi dambaan setiap orang, Tidak ada orang yang tidak mau kuliah di dunia ini. Walau, terkadang ada sebagia orang yang tidak ingin kuliah, tetapi kalau di Tanya kepada hati kecilnya pasti dia ingin sekali.
Untuk sekarang ini banyak orang yang ingin kuliah, tetapi mereka selalu terkendala oleh dana. Untuk berkuliah sekarang ini tidak ada yang gratis, semuanya harus mempunyai dana yang lebih. Bagi orang yang mempunyai uang lebih saja yang bias kuliah. Artinya “hanya orang kaya saja yang berhak untuk kuliah, haram bagi orang yang miskin untuk berkuliah”, seperti itulah perumpamaannya. Sedih melihat kenyataan seperti ini yang dimana semuanya di dominasi oleh orang yang mempunyai uang atau modal lebih saja. Betul memang kata bang haji Roma Irama dalam kutipan lagunya“yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin”. Bagi orang yang tidak melanjutkan pendidikannya kejenjang kuliah, siap-siap sajalah untuk menjadi buruh, tani, atau bahkan menjadi pengangguran.
Perlu anda ketahui,  begitu mahalnya biaya untuk masuk perguruan tinggi ternyata di pengaruhi oleh interfensi asing. Artinya, Negara asing sudah mulai mengatur dan menerapkan kebijakannya di dalam sistem pendidikan kita. Dari manakah mereka masuk dan apakah tujuan mereka? Mereka masuk melalui organisasi yang bernama GATS (General Agreement of Trade and Services), yang merupakan cikal bakal dari WTO (World Trade Organization), dan Indonesia bergabung di dalamnya. Bukti dari mereka masuk dan menerapkan kebijakan mereka adalah kebijakan uang kuliah tunggal (UKT). UKT merupakan sebuah kebijakan yang berasal dari asing, yang dimana mereka mengiginkan agar perguruan tinggi yang ada di Indonesia harus mencari laba atau keuntungan. Sebelum UKT muncul ke permukaan, awalnya mereka menerapkan uang pangkal ini terjadi pada fase-fase reformasi. Perlu pembaca ketahui juga, bahwa uang pangkal ini pun juga termasuk bagian dari kebijakan GATS.  Melalui penyepakatan GATS pendidikan tinggi dijadikan salah satu sektor jasa yang dapat diperdagangkan secara bebas. Dari sinilah terjadi pergeseran persepsi dimana pendidikan dijadikan seperti barang atau komoditi. Proses yang demikian itu disebut dengan komodifikasi pendidikan. Posisi Negara tidak lagi sebagai pelayan hak rakyatnya, melainkan berubah menjadi pelayan penguasa modal. Negara dibuat sebisa mungkin untuk mengurangi interfensinya terhadap pasar, termasuk dalam membiayai pendidikan. Tujannya sudah jelas, yakni laba bagi penguasa modal. Dari sini dapat kita lihat peranan Negara barat dalam menginterfensi pendidikan kita.
Dampaknya dalam regulasi nasional adalah dihapusnya Undang-Undang BHP oleh Mahkama Konstitusi pada tanggal 17 April 2010, World Bank mengeluarkan dokumen Indonesia lewat proyek Managing Higher Education for Relevance and Efficiency (MHERE). Sebuah proyek Bank Dunia untuk bidang pendidikan, termasuk untuk menyusun renstra pendidikan nasional yang berbunyi, “A new BHP must be passed to establish the independent legal status of al education institutions in Indonesia (public and private), there by making BHMN has legal subset of BHP”. Inilah cikal bakal pemerintah menyusun Undang-Undang No.12 tahun 2012 tentang pendidikan tinggi (UU PT).
UU PT adalah rengkarnasi dari UU BHP, semangat neoliberalisasi pendidikan menjelma dalam UU tersebut. Dalam pasal 62, diatur bahwa perguruan tinggi memiliki otonomi untuk menyelenggarakan sendiri kampusnya. Konsepnya masih sama dengan UU BHP, salah satu wewenang dari perguruan tinggi ini adalah dengan membentuk unit bisnis dan mengembangkan harta abadi. Dalam pasal 73 ayat (1) mengatur mengenai pola penerimaan mahasiswa baru, yang dalam hal ini masih sama dengan masalah yang sebelumnya, yakni melegalkan penerimaan mahasiswa baru selain dari penerimaan mahasiswa secara nasional. Tidak sampai disitu saja, dalam pasal 91 ayat (2) huruf a mengatur bahwa masyarakat dapat menentukan kompetensi lulusan melalui organisasi profesi, dunia usaha, dan dunia industry. Artinya, pihak suasta mengiginkan lulusan perguruan tinggi menjadi pekerja untuk kepentingan pemodal.
Sebenarnya, uang pangkal ini tidak memiliki dasar hukum yang kuat. Tetapi, banyak perguruan tinggi yang berdalih bahwa pasal 114 peraturan pemerintah tentang perguruan tinggi  sudah cukup menjadi landasan hukum atas uang pangkal ini. Wewenang untuk memungut biaya dari masyarakat juga  dijadikan landasan untuk menguatkan  uang pangkal.
Dan akhirnya sampai disinilah, tidak ada lagi keterpihakan pemerintah terhadap rakyat miskin. Pemerintah lebih percaya dengan pihak luar dan lebih berpihak terhadap pemodal. Apakah seperti ini pemimipin Negara yang dahulunya mendapatkan kemerdekaannya dengan tangannya sendiri, dengan mudahnya Negara asing mendikte bahkan menginterfensi Negara kita.  Pemerintah rela mengorbankan generasi muda demi keuntungan yang di dapatnya.

Di saat penerapan uang  pangkal di hapuskan, muncul lagi kebijakan baru yaitu uang kuliah tunggal (UKT). Menurut saya ini sama saja dan ini bisa jadi merupakan kebijakan yang dari penyempurnaan uang pangkal. kalau memang seperti ini disain dari pendidikan kita yang sudah di terapkan oleh pemerintah, kami tidak bisa berbuat banyak. Kami hanya berharap dan menunggu ada pahlawan yang mampu menyelesaikan masalah ini.

0 komentar:

Posting Komentar