Kuliah menjadi dambaan setiap orang, Tidak ada orang
yang tidak mau kuliah di dunia ini. Walau, terkadang ada sebagia orang yang
tidak ingin kuliah, tetapi kalau di Tanya kepada hati kecilnya pasti dia ingin
sekali.
Untuk sekarang ini banyak orang yang ingin kuliah,
tetapi mereka selalu terkendala oleh dana. Untuk berkuliah sekarang ini tidak
ada yang gratis, semuanya harus mempunyai dana yang lebih. Bagi orang yang
mempunyai uang lebih saja yang bias kuliah. Artinya “hanya orang kaya saja yang berhak untuk kuliah, haram bagi orang yang
miskin untuk berkuliah”, seperti itulah perumpamaannya. Sedih melihat
kenyataan seperti ini yang dimana semuanya di dominasi oleh orang yang
mempunyai uang atau modal lebih saja. Betul memang kata bang haji Roma Irama
dalam kutipan lagunya“yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin”. Bagi
orang yang tidak melanjutkan pendidikannya kejenjang kuliah, siap-siap sajalah
untuk menjadi buruh, tani, atau bahkan menjadi pengangguran.
Perlu anda ketahui,
begitu mahalnya biaya untuk masuk perguruan tinggi ternyata di pengaruhi
oleh interfensi asing. Artinya, Negara asing sudah mulai mengatur dan
menerapkan kebijakannya di dalam sistem pendidikan kita. Dari manakah mereka
masuk dan apakah tujuan mereka? Mereka masuk melalui organisasi yang bernama
GATS (General Agreement of Trade and
Services), yang merupakan cikal
bakal dari WTO (World Trade
Organization), dan Indonesia bergabung
di dalamnya. Bukti dari mereka masuk dan menerapkan kebijakan mereka adalah
kebijakan uang kuliah tunggal (UKT). UKT merupakan sebuah kebijakan yang
berasal dari asing, yang dimana mereka mengiginkan agar perguruan tinggi yang
ada di Indonesia harus mencari laba atau keuntungan. Sebelum UKT muncul ke
permukaan, awalnya mereka menerapkan uang pangkal ini terjadi pada fase-fase
reformasi. Perlu pembaca ketahui juga, bahwa uang pangkal ini pun juga termasuk
bagian dari kebijakan GATS. Melalui
penyepakatan GATS pendidikan tinggi dijadikan salah satu sektor jasa yang dapat
diperdagangkan secara bebas. Dari sinilah terjadi pergeseran persepsi dimana
pendidikan dijadikan seperti barang atau komoditi. Proses yang demikian itu
disebut dengan komodifikasi pendidikan. Posisi Negara tidak lagi sebagai
pelayan hak rakyatnya, melainkan berubah menjadi pelayan penguasa modal. Negara
dibuat sebisa mungkin untuk mengurangi interfensinya terhadap pasar, termasuk
dalam membiayai pendidikan. Tujannya sudah jelas, yakni laba bagi penguasa
modal. Dari sini dapat kita lihat peranan Negara barat dalam menginterfensi
pendidikan kita.
Dampaknya dalam regulasi nasional adalah dihapusnya
Undang-Undang BHP oleh Mahkama Konstitusi pada tanggal 17 April 2010, World Bank mengeluarkan dokumen
Indonesia lewat proyek Managing Higher
Education for Relevance and Efficiency (MHERE). Sebuah proyek Bank Dunia untuk bidang pendidikan, termasuk untuk
menyusun renstra pendidikan nasional yang berbunyi, “A new BHP must be passed to establish the independent legal status of
al education institutions in Indonesia (public and private), there by making
BHMN has legal subset of BHP”. Inilah cikal bakal pemerintah menyusun
Undang-Undang No.12 tahun 2012 tentang pendidikan tinggi (UU PT).
UU PT adalah rengkarnasi dari UU BHP, semangat neoliberalisasi
pendidikan menjelma dalam UU tersebut. Dalam pasal 62, diatur bahwa perguruan
tinggi memiliki otonomi untuk menyelenggarakan sendiri kampusnya. Konsepnya
masih sama dengan UU BHP, salah satu wewenang dari perguruan tinggi ini adalah
dengan membentuk unit bisnis dan mengembangkan harta abadi. Dalam pasal 73 ayat
(1) mengatur mengenai pola penerimaan mahasiswa baru, yang dalam hal ini masih
sama dengan masalah yang sebelumnya, yakni melegalkan penerimaan mahasiswa baru
selain dari penerimaan mahasiswa secara nasional. Tidak sampai disitu saja,
dalam pasal 91 ayat (2) huruf a mengatur bahwa masyarakat dapat menentukan
kompetensi lulusan melalui organisasi profesi, dunia usaha, dan dunia industry.
Artinya, pihak suasta mengiginkan lulusan perguruan tinggi menjadi pekerja
untuk kepentingan pemodal.
Sebenarnya, uang pangkal ini tidak memiliki dasar
hukum yang kuat. Tetapi, banyak perguruan tinggi yang berdalih bahwa pasal 114
peraturan pemerintah tentang perguruan tinggi
sudah cukup menjadi landasan hukum atas uang pangkal ini. Wewenang untuk
memungut biaya dari masyarakat juga
dijadikan landasan untuk menguatkan
uang pangkal.
Dan akhirnya sampai disinilah, tidak ada lagi
keterpihakan pemerintah terhadap rakyat miskin. Pemerintah lebih percaya dengan
pihak luar dan lebih berpihak terhadap pemodal. Apakah seperti ini pemimipin
Negara yang dahulunya mendapatkan kemerdekaannya dengan tangannya sendiri,
dengan mudahnya Negara asing mendikte bahkan menginterfensi Negara kita. Pemerintah rela mengorbankan generasi muda
demi keuntungan yang di dapatnya.
Di saat penerapan uang pangkal di hapuskan, muncul lagi kebijakan
baru yaitu uang kuliah tunggal (UKT). Menurut saya ini sama saja dan ini bisa
jadi merupakan kebijakan yang dari penyempurnaan uang pangkal. kalau memang
seperti ini disain dari pendidikan kita yang sudah di terapkan oleh pemerintah,
kami tidak bisa berbuat banyak. Kami hanya berharap dan menunggu ada pahlawan
yang mampu menyelesaikan masalah ini.
0 komentar:
Posting Komentar