Di
tahun 1997/1998 emerging markets mengalami
krisis yang hebat, tidak terkecuali Indonesia. Ketika itu Indonesia memang
tidak dapat menghindar dari krisis yang begitu hebat ini. Tidak
tanggung-tanggung, pada saat itu perekonomian Indonesia langsung drop dan terjadi kepanikan yang luar
biasa dimana-mana. Kalau kita analisis sejenak, apakah selemah itu fundamental
perekonomian Indonesia dimasa 1997/1998?.
Krisis
yang terjadi ketika itu memang hanya terjadi di Asia dan tidak terlalu merembet
ke Eropa dan Amerika. Indonesia sebagai negara bagian dari Asia sendiri, tidak
bisa mengelak dari krisis tersebut, yang dimana ketika itu Indonesia sudah
menerapkan ekonomi terbuka. Akibatnya, ketika terjadi krisis banyak Investor
asing yang keluar dari Indonesia. Dan disaat yang bersamaan hutang luar negeri
Indonesia jatuh tempo, otomatis harus dibayar. Disaat itu cadangan devisa hanya
$ 30 Miliar, tidak cukup untuk membayar hutang yang ada. Di perparah lagi dengan tingkat inflasi yang
tinggi dan tingkat pertumbuhan yang minus 14 persen (Data Bank Indonesia). Dengan kata lain sudah sewajarnya Indonesia
terkena krisis tersebut, dikarenakan lemahnya fundamental ekonomi Indonesia
disaat itu.
Memasuki
tahun 2008, Indonesia dihadapkan lagi dengan krisis hebat. Tetapi krisis tahun
itu tidak berpusat di Asia , melainkan di Amerika dan Eropa. Walau demikian, seluruh
dunia juga ikut terkena imbas dari krisis tersebut. Negara Indonesia sudah
belajar dari krisis-krisis yang sebelumnya terjadi, maka ketika krisis tersebut
datang Indonesia sudah lebih siap untuk menghadapinya. Karena disaat itu
kondisi perbankan Indonesia yang sebagai jantung perekonomian memiliki
fundamental yang kuat. Hal itu terlihat dari rasio angka kredit bermasalah (Non
Performing Loan/NPL), likuiditas, dan permodalan.
Data Bank Indonesia mencatat NPL netto, setelah
dikurangi provisi hanya 1,42 persen jauh di bawah batas maksimum yang
ditetapkan BI sebesar 5 persen. Likuiditas perbankan
saat itu juga masih memadai, tercermin dari rasio kredit terhadap dana pihak
ketiga (Loan to Deposit Ratio/LDR) yang masih dibawah 80 persen.
Permodalan perbankan domestik saat ini juga cukup kuat. Ini tercemin dari rasio
kecukupan modal yang sebesar 17 persen, jauh di atas angka maksimum 8 persen.
Fundamental yang kuat tersebut akan membuat perbankan tetap optimal melakukan
fungsi intermediasi untuk mendorong perekonomian. Akhirnya, Indonesia bisa
melalui krisis global di tahun 2008 tersebut.
Gambaran diantara 1997 dengan 2008
sangat jauh sekali bedanya. Kalau di tahun 1997, memang Indonesia tidak terlalu
memiliki kekuatan untuk melawan krisis tersebut. sedangkan di tahun 2008
pemerintah memang siap dan memiliki cukup kekuatan untuk membendung itu semua.
Seperti halnya dengan NPL yang rendah, cadangan devisa yang memadai dan
pertumbuhan ekonomi yang tinggi, menjadi senjata untuk membendung itu semua.
Memasuki awal 2015, Indonesia
mengalami penurunan pertumbuhan. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, Indonesia hanya tumbuh 4,7 persen
di kuartal pertama. Hal ini disebabkan oleh menurunnya tingkat konsumsi
masyarakat. Ditambah lagi dengan penurunan harga minyak dunia, yang akibatnya
semua harga komoditas terkoreksi. Bukan hanya itu saja, terdepresiasinya rupiah
menambah permasalahan yang terjadi di 2015 ini. Dan sampai sekarang rupiah
terus terdepresiasi hingga menembus level di atas Rp14.500 per dollar. Lalu
dengan semua permasalahan tadi, apakah Indonesia masih memiliki fundamental
ekonomi yang kuat?.
Fauzi Ichsan selaku Plt kepala
eksekutif Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), dalam acara TV “Economic Challenges
episode perang mata uang”, memaparkan bahwa “untuk sekarang ini Indonesia masih
jauh dari krisis. Karena CAR Indonesia sekarang ini sangat tinggi, berkisar di
atas 20 persen dan NPL Indonesia hanya 2,6 persen dan ini semua masih
terkendali”. Sedangkan dana yang di kelola LPS sendiri sudah mencapai Rp56
triliun dan ini menjadi yang tertinggi dari periode sebelumnya. Kepala
Eksekutif LPS ini juga menambahkan, kalau untuk bank yang bermasalah hanya
bank-bank kecil, tidak dengan bank-bank besar yang relatif stabil.
Dalam acara yang sama, Agus
Martowardojo selaku gubernur BI juga memaparkan hal yang senada, dimana
sekarang ini fundamental perekonomian Indonesia berbeda dari tahun sebelumnya.
Karena pada saat sekarang ini cadangan devisa Indonesia mencapai $107 miliar,
sedangkan Inflasi Indonesia mengarah ke titik rendah dan menuju kestabilan.
Artinya hal ini berbeda sekali dengan tahun 1997/1998.
Dan untuk kebijakan moneter, beliau
memaparkan bahwa untuk sekarang ini yang akan dilakukan dan yang telah
dilakukan adalah dengan mengeluarkan kebijakan moneter yang prudent dan konsisten, karena dengan itu
maka transaksi berjalan yang devisit akan menjadi lebih kecil devisitnya.
Mengimplementasikan pengelolaan utang luar negeri bagi badan usaha yang ingin
mengutang keluar negeri agar lebih hati-hati, agar tidak terjadi resiko nilai
tukar (currency risk) atau resiko
liquiditas (liquidity risk).
Melakukan kebijakan makro prudential untuk menyikapi ketidakpastian ekonomi
global agar makro ekonomi stabil. Dan untuk mengatasi modal yang tertahan, BI
akan melakukan pelonggaran Loan to Value
dan Down Payment lebih kecil agar
masyarakat mudah meminjam untuk membuka usaha, pembelian rumah dan kendaraan.
Lalu ia memaparkan lagi, bagi bank yang dapat menjaga kredit macetnya (NPL) di
bawah 5 persen, maka bank tersebut akan memperoleh intensif yang berbentuk giro
wajib minimum yang lebih longgar. Kita akan melakukan stabilisasi di pasar
valas, agar volatilitas nilai tukar tetap terjaga dan memastikan cadangan
devisa kita cukup untuk menjaga kesehatan ekonomi kita. Dan kita akan melakukan
pendalaman pasar uang, agar pasar dalam negeri lebih tebal dan apabila terjadi
transaksi kecil tidak terjadi keketatan. Terakhir ujar gubernur BI ini yang tak
kala penting adalah melakukan koordinasi dengan pemerintah, Otoritas Jasa
Keuangan (OJK), dan LPS.
Peranan yang dimainkan oleh Lembaga
Keuangan yang terkait sangat diperlukan sekali. Dengan adanya regulasi yang
dikeluarkan oleh BI sendiri diharapkan dapat mengantisipasi krisis yang terjadi
pada saat sekarang ini. Kebijakan pengelolaan utang luar negeri bagi para badan
usaha dan memudahkan pinjaman modal bagi masyarakat untuk sekarang ini
sangatlah tepat. Karena seperti kita lihat saat sekarang ini rupiah terus
meroket dan terkoreksi hingga 11 point, artinya dengan adanya regulasi ini maka
dapat melindungi hutang luar negeri dari resiko nilai tukar. Dan dengan adanya
pelonggaran modal bagi masyarakat, maka akan lebih cepat perputaran modal yang
sebelumnya tertahan. Penguatan devisa negara juga sangat berperan, guna
mengantisipasi dan menalangi pendanaan yang bermasalah nantinya. Dan intinya
koordinasi antara Pemerintah, OJK, LPS, dan BI sangat diperlukan agar tercipta
kestabilan ekonomi yang kuat.
0 komentar:
Posting Komentar