Senin, 12 Oktober 2015

Meredam Krisis yang Mengancam

Di tahun 1997/1998 emerging markets mengalami krisis yang hebat, tidak terkecuali Indonesia. Ketika itu Indonesia memang tidak dapat menghindar dari krisis yang begitu hebat ini. Tidak tanggung-tanggung, pada saat itu perekonomian Indonesia langsung drop dan terjadi kepanikan yang luar biasa dimana-mana. Kalau kita analisis sejenak, apakah selemah itu fundamental perekonomian Indonesia dimasa 1997/1998?.
Krisis yang terjadi ketika itu memang hanya terjadi di Asia dan tidak terlalu merembet ke Eropa dan Amerika. Indonesia sebagai negara bagian dari Asia sendiri, tidak bisa mengelak dari krisis tersebut, yang dimana ketika itu Indonesia sudah menerapkan ekonomi terbuka. Akibatnya, ketika terjadi krisis banyak Investor asing yang keluar dari Indonesia. Dan disaat yang bersamaan hutang luar negeri Indonesia jatuh tempo, otomatis harus dibayar. Disaat itu cadangan devisa hanya $ 30 Miliar, tidak cukup untuk membayar hutang yang ada.  Di perparah lagi dengan tingkat inflasi yang tinggi dan tingkat pertumbuhan yang minus 14 persen (Data Bank Indonesia). Dengan kata lain sudah sewajarnya Indonesia terkena krisis tersebut, dikarenakan lemahnya fundamental ekonomi Indonesia disaat itu.
Memasuki tahun 2008, Indonesia dihadapkan lagi dengan krisis hebat. Tetapi krisis tahun itu tidak berpusat di Asia , melainkan di Amerika dan Eropa. Walau demikian, seluruh dunia juga ikut terkena imbas dari krisis tersebut. Negara Indonesia sudah belajar dari krisis-krisis yang sebelumnya terjadi, maka ketika krisis tersebut datang Indonesia sudah lebih siap untuk menghadapinya. Karena disaat itu kondisi perbankan Indonesia yang sebagai jantung perekonomian memiliki fundamental yang kuat. Hal itu terlihat dari rasio angka kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL), likuiditas, dan permodalan.
Data Bank Indonesia mencatat NPL netto, setelah dikurangi provisi hanya 1,42 persen jauh di bawah batas maksimum yang ditetapkan BI sebesar 5 persen. Likuiditas perbankan saat itu juga masih memadai, tercermin dari rasio kredit terhadap dana pihak ketiga (Loan to Deposit Ratio/LDR) yang masih dibawah 80 persen. Permodalan perbankan domestik saat ini juga cukup kuat. Ini tercemin dari rasio kecukupan modal yang sebesar 17 persen, jauh di atas angka maksimum 8 persen. Fundamental yang kuat tersebut akan membuat perbankan tetap optimal melakukan fungsi intermediasi untuk mendorong perekonomian. Akhirnya, Indonesia bisa melalui krisis global di tahun 2008 tersebut.
Gambaran diantara 1997 dengan 2008 sangat jauh sekali bedanya. Kalau di tahun 1997, memang Indonesia tidak terlalu memiliki kekuatan untuk melawan krisis tersebut. sedangkan di tahun 2008 pemerintah memang siap dan memiliki cukup kekuatan untuk membendung itu semua. Seperti halnya dengan NPL yang rendah, cadangan devisa yang memadai dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, menjadi senjata untuk membendung itu semua.
Memasuki awal 2015, Indonesia mengalami penurunan pertumbuhan. Badan Pusat Statistik (BPS)  mencatat, Indonesia hanya tumbuh 4,7 persen di kuartal pertama. Hal ini disebabkan oleh menurunnya tingkat konsumsi masyarakat. Ditambah lagi dengan penurunan harga minyak dunia, yang akibatnya semua harga komoditas terkoreksi. Bukan hanya itu saja, terdepresiasinya rupiah menambah permasalahan yang terjadi di 2015 ini. Dan sampai sekarang rupiah terus terdepresiasi hingga menembus level di atas Rp14.500 per dollar. Lalu dengan semua permasalahan tadi, apakah Indonesia masih memiliki fundamental ekonomi yang kuat?.
Fauzi Ichsan selaku Plt kepala eksekutif Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), dalam acara TV “Economic Challenges episode perang mata uang”, memaparkan bahwa “untuk sekarang ini Indonesia masih jauh dari krisis. Karena CAR Indonesia sekarang ini sangat tinggi, berkisar di atas 20 persen dan NPL Indonesia hanya 2,6 persen dan ini semua masih terkendali”. Sedangkan dana yang di kelola LPS sendiri sudah mencapai Rp56 triliun dan ini menjadi yang tertinggi dari periode sebelumnya. Kepala Eksekutif LPS ini juga menambahkan, kalau untuk bank yang bermasalah hanya bank-bank kecil, tidak dengan bank-bank besar yang relatif stabil.
Dalam acara yang sama, Agus Martowardojo selaku gubernur BI juga memaparkan hal yang senada, dimana sekarang ini fundamental perekonomian Indonesia berbeda dari tahun sebelumnya. Karena pada saat sekarang ini cadangan devisa Indonesia mencapai $107 miliar, sedangkan Inflasi Indonesia mengarah ke titik rendah dan menuju kestabilan. Artinya hal ini berbeda sekali dengan tahun 1997/1998.
Dan untuk kebijakan moneter, beliau memaparkan bahwa untuk sekarang ini yang akan dilakukan dan yang telah dilakukan adalah dengan mengeluarkan kebijakan moneter yang prudent dan konsisten, karena dengan itu maka transaksi berjalan yang devisit akan menjadi lebih kecil devisitnya. Mengimplementasikan pengelolaan utang luar negeri bagi badan usaha yang ingin mengutang keluar negeri agar lebih hati-hati, agar tidak terjadi resiko nilai tukar (currency risk) atau resiko liquiditas (liquidity risk). Melakukan kebijakan makro prudential untuk menyikapi ketidakpastian ekonomi global agar makro ekonomi stabil. Dan untuk mengatasi modal yang tertahan, BI akan melakukan pelonggaran Loan to Value dan Down Payment lebih kecil agar masyarakat mudah meminjam untuk membuka usaha, pembelian rumah dan kendaraan. Lalu ia memaparkan lagi, bagi bank yang dapat menjaga kredit macetnya (NPL) di bawah 5 persen, maka bank tersebut akan memperoleh intensif yang berbentuk giro wajib minimum yang lebih longgar. Kita akan melakukan stabilisasi di pasar valas, agar volatilitas nilai tukar tetap terjaga dan memastikan cadangan devisa kita cukup untuk menjaga kesehatan ekonomi kita. Dan kita akan melakukan pendalaman pasar uang, agar pasar dalam negeri lebih tebal dan apabila terjadi transaksi kecil tidak terjadi keketatan. Terakhir ujar gubernur BI ini yang tak kala penting adalah melakukan koordinasi dengan pemerintah, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan LPS.

Peranan yang dimainkan oleh Lembaga Keuangan yang terkait sangat diperlukan sekali. Dengan adanya regulasi yang dikeluarkan oleh BI sendiri diharapkan dapat mengantisipasi krisis yang terjadi pada saat sekarang ini. Kebijakan pengelolaan utang luar negeri bagi para badan usaha dan memudahkan pinjaman modal bagi masyarakat untuk sekarang ini sangatlah tepat. Karena seperti kita lihat saat sekarang ini rupiah terus meroket dan terkoreksi hingga 11 point, artinya dengan adanya regulasi ini maka dapat melindungi hutang luar negeri dari resiko nilai tukar. Dan dengan adanya pelonggaran modal bagi masyarakat, maka akan lebih cepat perputaran modal yang sebelumnya tertahan. Penguatan devisa negara juga sangat berperan, guna mengantisipasi dan menalangi pendanaan yang bermasalah nantinya. Dan intinya koordinasi antara Pemerintah, OJK, LPS, dan BI sangat diperlukan agar tercipta kestabilan ekonomi yang kuat. 

0 komentar:

Posting Komentar