Selasa, 20 Oktober 2015

Waspada Gelembung ekonomi Mengintai.

     Definisi gelembung ekonomi adalah kondisi di mana harga sebuah aset, seperti properti, saham atau komoditas menjadi terlalu tinggi. Kenaikan harga terjadi dengan tajam dalam jangka waktu singkat dan tidak didukung oleh permintaan riil yang mengonfirmasi kepantasan kenaikan harga tersebut. Para investor mendorong kenaikan harga aset hingga jauh melampaui nilai yang wajar dan berkesinambungan. Kondisi gelembung aset biasanya terjadi jika investor melakukan pembelian dalam satu aset tertentu yang dispekulasi akan mengalami kenaikan harga ke depannya. Contohnya pasar perumahan dan kredit kepemilikan rumah Amerika Serikat (selanjutnya di singkat AS) menjadi momok bagi perekonomian AS di tahun 2008. Karena dari sinilah bencana ekonomi AS bermula, yang berakibat pada krisis ekonomi berkepanjangan. Penyimpangan kredit perumahan di AS sebenarnya sudah mulai meningkat secara masif sejak kuartal kedua 2005, namun baru pada triwulan terakhir 2006-an tanda-tanda dari permasalahan muncul pada pasar perumahan dan kredit kepemilikan rumah AS. Sejumlah indikasi menunjukan bahwa para investor sudah memprediksi penurunan harga rumah secara tajam. Secara tidak langsung, penurunan ini akan berakibat pada nilai produk penjamin yang diciptakan sebagai hipotik kredit perumahan dan produk sejenis lain yang akan ikut merosot. Pada tanggal 8 Februari 2007, HSBC Holdings, salah satu bank terbesar di Eropa, secara khusus memberitakan terjadinya kenaikan kredit macet pada portofolio kredit perumahannya untuk AS sebagai sebab dari menurunnya laba bank tersebut. Juli 2007, kecemasaan dan kehati-hatian mulai terjadi pada industri financial. Hal ini menyebabkan adanya kecurigaan pada produk-produk sekuritas. 
     Ketakutan ini akhirnya menjadi kenyataan, 9 Agustus 2007, bank sentral baik Amerika dan Eropa menyuntikan dana miliaran dollar untuk mencegah mengeringnya likuiditas yang ada. Bank Sentral Eropa menyuntikan €95 miliar dan The Fed $38 miliar, namun hal itu sudah sedikit terlambat karena apa yang awalnya merupakan koreksi pada pasar kredit perumahan AS yang terlalu ekspansif dengan cepat berubah menjadi awal mula krisis kredit dan likuiditas internasional. Setelah masa yang relatif tenang selepas Natal dan libur Tahun Baru, krisis keuangan kembali pada pertengahan Januari 2008. Frederic Mishkin, Gubernur The Fed yang berpandangan sama dengan Bernanke dalam hal teori ekonomi dan moneter menyampaikan sebuah pidato yang menguraikan apa yang sebenarnya menjadi pemahaman parapembuat kebijakan pada The Fed. Secara khusus, Mishkin menekankan bahwa selama periode terjadinya gangguan terhadap pasar uang, para pembuat kebijakan moneter sebaiknya memusatkan perhatian pada apa yang disebut dengan akselerator finansial:”Gangguan pada pasar uang dapat melebar ke perekonomian yang lebih luas dan menimbulkan dampak buruk terhadap keluaran dan lapangan kerja. Selain itu, menurunnya perekonomian cenderung menyebabkan meningkatkan ketidakpastian tentang nilai aset, yang dapat saja menjadi lingkaran setan di mana krisis finansial menghambat aktivitas perekonomian; situasi semacam itu dapat semakin mengingatkan ketidakpastian serta memperparah krisis keuangansehingga memperparah kerusakan aktivitas perekonomian secara makro, dan seterusnya”. 
      Pada tanggal 15 September 2008, dunia dikejutkan dengan pengumuman bangkrutnya salah satu perusahaan keuangan terbesar dan terlama Amerika Serikat, Lehman Brothers. Pengumuman ini memicu “tsunami” pasar uang di seluruh dunia. Lehman Brothers menjadi “korban” terbesar akibat krisis yang terjadi di Amerika Seikat dan peristiwa ini merupakan peristiwa kebangkrutan terbesar bank investasi di Amerika Serikat sejak tahun 1990, ketika Drexel Burnham Lambert mengajukan pernyataan bangkrut akibat jatuhnya junk bondmarket. Kebangkrutan Lehman Brothers menjadi peristiwa penting dalam rangkaian krisiskredit Amerika Serikat, karena kebangkrutan perusahaan yang sudah berdiri dari 150 tahun ini menandai betapa besarnya tingkat intesitas krisis keuangan Amerika Serikat yang berujung pada krisis keuangan global. Baik para investor pereorangan dan individu serta perusahaan-perusahaan yang menerima pinjaman modal maupun perusahaan yang terikat CDS dengan Lehman Brothers ikut merasakan dampak negatifnya. Pembahasan di atas merupakan gambaran dari dampak krisis yang di alami AS di tahun 2008. Betapa hebatnya krisis yang terjadi, dimana perusahaan yang sudah lama dan sudah berpengalaman sekali pun seperti Lehman Brothers harus menelan kebangkrutan akibat dari krisis ini. Krisis yang bermula dari penjualan properti yang akhirnya berujung pada kebangkrutan perusahaan-perusahaan keuangan di AS. Lalu apa hubungannya dengan permasalahan yang terjadi di Indonesia sekarang ini? Apakah ada hubungannya dengan krisis 2008 AS? Ditanya hubungannya pada saat sekarang ini, memang tidak ada hubugannya sama sekali, karena kejadian ini sudah berlalu lebih kurang 7 tahun yang lalu. Dan ketika itu Indonesia terselamatkan dari krisis tersebut. Tetapi, untuk sekarang ini permasalahan yang terjadi hampir mirip dengan kejadian krisis di AS. 
     Di indonesia sendiri ancaman gelembung ekonomi sudah mulai mengintai dan sempat menjadi sorotan. Harga properti dan tanah juga naik gila-gilaan, kawasan elite di Menteng Jakarta misalnya, pada periode Mei 2013 tiap satu meter persegi sudah mencapai hingga Rp. 100 juta lebih.Tapi harga setinggi itupun tetap dibeli, harga-harga perumahan, apartemen dan properti lainnya di Indonesia juga semakin naik tanpa patokan yang jelas, tapi tetap dibeli dan terbeli oleh masyarakat. Luar biasa daya beli masyarakat pada saat ini. Sector ini terancam oleh pembiayaan dengan pinjaman bank alias kredit pemilikan rumah (KPR). Bank Indonesia (BI) mencatat terdapat setidaknya 35.200 debitor yang memiliki KPR lebih dari satu rumah. Yang agak mengherankan 3.884 diantaranya diketahui memiliki tiga sampai sembilan rumah sekaligus. Tak heran jika BI akhirnya memperketat regulasi pemberian kredit properti, yang tujuannya untuk mengantisipasi kemungkinan meningkatnya jumlah kredit bermasalah dalam perbankan. Walaupun dinilai masih sangat jauh dari gelembung ekonomi dikarenakan porsi kredit properti terhadap keseluruhan kredit perbankan yang kurang dari 10%, nampaknya BI tetap tak mau mengambil risiko. Belajar dari apa yang pernah terjadi di AS, barangkali sudah sepatutnya Indonesia melakukan pengawasan yang ketat terhadap sektor-sektor yang mengalami pertumbuhan tinggi, yang mungkin tergolong tidak masuk akal alias irasional. Jangan sampai pertumbuhan yang tinggi ini akan mengantarkan perekonomian negeri ini ke dalam jurang krisis. Analogi pecahnya balon karena tertusuk jarum boleh jadi sangat nyata dalam menggambarkan dahsyatnya dampak gelembung ekonomi. Dan semuanya berharap agar Indonesia dijauhkan dari fenomena-fenomena meresahkan seperti ini.

0 komentar:

Posting Komentar